Rafa sadar sampai kapanpun DEF tak kan bisa menikahinya karena setatusnya sebagai suami orang. Apalagi DEF sudah menjadi seorang ayah. Sementara itu Danang sudah menantinya bertahun-tahun dan Rafa mengabaikannya.
"Kenapa tidak kau angkat telponmu hari ini?" tanya DEF
Tadi siang DEF menelpon beberapa kali yang tak ku angkat karena waktu itu ada staff meeting di aula dengan direktur RS dimana aku bekerja. Setelah selesai aku lupa buat menelpon DEF kembali dan langsung ke OK untuk menyelesaikan laporan yg sedikit tertunda.
"Mendadak ada staf meeting tadi pagi." Kuambil donat seraya menuang air putih ke dalam gelas dan kusodorkan kepadanya. "maaf aku lupa untuk menelponmu."
"Biasanya kau tidak pernah lupa untuk menelpon balik."
"Kali ini aku lupa."
"Mungkin karena perhatianmu sudah tersita untuk laki-laki itu?"
Dahiku berkerut. "Laki-laki siapa?"
"Pacarmu itu."
"Pacarku, siapa?"
"Danang."
Aku menggeleng. "Danang bukan pacarku tetapi dia teman kerjaku. Kita sudah lama berteman sejak aku masuk Rumah Sakit ini."
"Dan merencanakan pernikahan?"
Aku terkejut. Memang 2 minggu yang lalu, Danang dan aku membicarakan tentang pernikahan. Saat itu aku dan dia dalam satu kendaraan saat perjalanan pulang.
"Kapan kamu mau menikah?" tanya Danang sambil menyetir mobil.
"Kalau sudah ketemu dengan yang masuk kriteria menjadi suamiku." sahutku.
"Sudah ada yang masuk kriteriamu?"
Aku meliriknya. Danang tetap melihat jalan tanpa sedikit menoleh padaku. Bicara tentang kriteria, Danang adalah satu-satunya pria yang aku kenal saat ini yang masuk kriteria untuk menjadi suamiku. Bila ada perbedaan diantara kita, hampir tidak terlihat dan aku mungkin masih bisa mentolerir. Tapi soal hati dan perasaan......
"Menurutmu.....apakah aku masuk dalam kriteria sebagai pria yang ingin menjadi suamimu? Apakah kita akan menjadi pasangan yang cocok?"
Kupandang wajahnya yang tyrus dan tetap memandang kedepan.
"Ya, kamu orang yang cocok."
Sebuah senyuman kecil terlukis di bibirnya.
"So........." sambungnya lagi, "bagaimana kalau seandainya kita menikah?"
Aku memutar tubuhku 90 derajat agar bisa dengan jelas memandangnya, dan Danang tetap tak menoleh tetap melihat kedepan dengan jari-jari yang mencengkeram setir kuat- kuat.
"Maksudmu kita menikah?"
"Hmmmmm........aaaahhhhh....eeeee...."
Aku nyaris terbahak saat melihat dia tergagap-gagap. Supaya tak terlihat dan membuatnya bertambah malu, kualihkan pandanganku keluar jendela. Menghitung butiran- butiran air hujan yang menempel di kaca.
"......kalau kamu mau......."
Suara Danang seolah tercekik. Kumiringkan kepalaku dan memandangnya. Setelah bertahun-tahun, akhirnya berani juga dia menyatakan perasaannya padaku. "Akan kupikirkan," sahutku pendek saat itu.
***
"Bagaimana kamu bisa menjalin kasih dengan laki-laki lain di belakangku?" suara DEF membuyarkan lamunanku.
"Danang itu sahabatku. Teman satu Rumah Sakit," sahutku.
"Sahabat yang ingin menikahimu?"
"Siapa yang bilang kalau kami mau menikah?"
DEF tertawa kecut. "Dunia ini kecil, Beib. Sepupuku ternyata teman SMA adik Danang yg jg kekasihnya. Dia mendengar dari gadis itu saat Kakaknya membicarakan perihal pernikahan kalian dengan orang tuanya. Dan yang dibicarakan itu adalah kamu Beib. Tak kamu duga, kan?"
Oh. Danang sudah membicarakan rencananya yang ingin menikahiku dengan kedua orang tuanya. padahal aku belum memberi dia jawaban.
"Kita tak mungkin begini terus," sahutku. "Dari awal kita tahu bahwa hubungan ini tidak akan langgeng."
"Jadi karena itu kamu mau mencari laki-laki lain?"
"Aku tidak pernah mencari laki-laki lain!"
"Lalu, Danang itu siapa? tidak cukupkah satu laki-laki untukmu?"
Aku terperengah mendengar kalimat itu. Kutatap DEF dengan marah. "Beraninya kamu berkata begitu!" seruku. "Kamu pikir aku perempuan apa? Bagaimana dengan dirimu sendiri? Kamu sudah beristri tetapi masih menjalin hubungan denganku!"
"Karena kamu mau!"
Kulempar DEF dengan buku yang aku pegang.
"Rafa!" Ia melompat dari duduknya menghampiriku dan langsung mencengkeram lenganku. "Dengar, aku tidak akan mengijinkan dan sampai kapan pun kamu punya kekasih selain aku. Kamu adalah milikku! Mengertikah!"
Air mataku berhamburan.
"Aku bukan milik siapa-siapa," protesku. "Kamu pun tidak."
Tak pernah terbayangkan sebelumnya suatu saat dalam hidup Rafa akan jatuh cinta dan mencintai separah ini. Bahkan setelah DEF memaksakan kehendaknya, cinta kasih Rafa pada DEF tak pernah luntur setitikpun.
"Apakah kamu serius?"
Danang menatapku dari balik kacamatanya. Aku ingin menundukkan wajahku agar tidak menatapnya. Namun kukuatkan hati membalas pandangannya.
"Ya," sahutku. Suaraku terdengar lemah di telingaku sendiri. Hampir tak kudengar. Untuk sesaat kami terdiam. Kugunakan kesempatan untuk memandangi ubin yang putih. Lantas kudengar Danang menghela nafas panjang.
"Kuharap kamu tidak bercanda," katanya. Suaranya terdengar lembut.
"Aku serius."
"Ini adalah suatu hal yang sangat penting dalam hidup aku."
"Ya, begitu juga aku."
"Benarkah demikian?"
"Ya."
"Nanti aku akan tanya mama kapan waktu yang tepat untuk meminangmu."
Danang tersenyum manis. Memandang Danang yang begitu bahagia, hatiku terasa ngilu.Laki -laki di depanku ini begitu tulus menyayangiku.Pantaskah aku menjadikannya sebagai pelarian?
Andai saja aku bisa mencintai Danang. Laki - laki ini tidak pernah menuntut apapun dariku. Ia selalu sabar dan tak pernah memaksakan kehendak. Ia selalu penuh pengertian dalam menghadapi aku. Dari keluarga yang harmonis. Ia berpendidikan, punya karier yang bagus, mapan, masa depan yang cerah. Mengapa aku tidak bisa mencintainya? mengapa justru aku menyayangi DEF?
Ah. DEF, sudah beberapa minggu aku tak mendengar khabar darinya. Ia tak pernah mengirim pesan apalagi menelpon. Hatiku merasa tidak enak. Apalagi subuh itu DEF meninggalkan apartemenku dengan berlinang air mata.
"Beib......." bisiknya ditelingaku. Ia masih memelukku kuat - kuat.
".............maafkan aku........"
Ia membenamkan wajahnya di leherku. Samar - samar kudengar isakannya. Lirih mengiris hatiku.
Amarah yang tadi bergolak - golak di dadaku, perlahan surut mendengar sedu sedannya. Ah bagaimana bisa aku mencintai seorang laki - laki seperti ini? Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa pada suatu saat dalam hidupku aku akan jatuh cinta dan mencintai seseorang separah ini. Bahkan setelah ia memaksakan kehendaknya padakupun, cintaku padanya tak luntur setitik pun.
"Apakah kamu akan meninggalkan aku?" suaranya nyaris tak terdengar.
Hatiku nyeri.
"Aku tak ingin kamu menikahi laki - laki lain. Siapapun namanya." Ia melepaskan pelukannya. "Aku tak ingin membagimu dengan siapa pun. Bisakah kau mengerti?"
Kupejamkan mata. Seandainya saja dunia berhenti berputar,biarlah DEF dan aku tetap disini, dalam waktu yang menjadi abadi.
Ia mentapku dengan matanya yang hitam seperti malam. Mata lelaki yang sangat kucintai melebihi hidupku sendiri.
"Mungkin aku bukan lelaki yang baik, kata DEF lagi, perlahan - lahan, "tetapi sungguh aku mencintaimu."
Dikenakannya sepatunya. Tanpa meandangku dia membuka pintu. Seketika tangisku pecah saat pintu tertutup.
***
Beberapa lama setelah DEF meninggalkanku subuh itu, kunci apartemen aku ganti. Sebenarnya tak perlu kugantipun DEF tak kan datang lagi.
Aku tak tahu kapan akan melihatnya lagi. Sekali dua kali aku tergoda untuk menanyakanya pada Laras. Tetapi Laras tak pernah menyinggung perihal DEF. Akupun tak menyinggung perihal DEF. Hari - hari lewat begitu saja. Sampai suatu saat Laras menelpon aku.
"Sebenarnya aku tak ingin mengabarkan hal ini kepadamu," katanya, tetapi kalau tak kuberitahu dan terjadi sesuatu, aku akan menyesal seumur hidup."
Jantungku berdegub kencang. "Ini soal DEF, bukan?"
"Iya. Sudah satu minggu DEF di Rumah Sakit."
Tanganku bergetar. "Kenapa?"
"Sepertinya dia minum obat penghilang rasa nyeri terlalu banyak."
Waktu remaja DEF pernah mengalami kecelakaan hebat, tulang belakangnya cedera dan sering menyebabkan ia kesakitan hingga harus minum obat penghilang rasa nyeri.
Laras mengantarkanku ke rumah sakit. Di rumah sakit itu untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Chacha. "Hai," sapanya seraya menjabat tangan yang kuulurkan. Sekilas kulirik anak kecil yang berdiri di belakangnya bergelayut manja dan malu - malu.Anak DEF. Hatiku perih. Untung wanita paruh baya (adik ibu DEF) menyilahkan kami masuk ke ruang ICU untuk menengok DEF.
"Ia tidak sepenuhnya sadar karena pengaruh obat," katanya dengan suara sedih , membuatku gelisah.
Hanya dua orang yang boleh masuk dan aku tau peraturan itu. Setelah kukenakan baju khusus aku masuk dan berdiri di samping tempat tidur DEF.
Rasanya nafasku terhenti ketika melihat sosok DEF yang terbaring lemah di tempat tidur. Begitu kurus, pucat, dan begitu banyak peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Tuhanku......apakah yang telah terjadi?
Rasanya aku ingin menangis, tetapi mataku kering. Barangkali aku akan jatuh ambruk jika Laras tak menopangku.
"Rafa, bisiknya di telingaku. "Kuatkan dirimu."
Kugenggam erat jemari DEF yang kurus. Beginikah rasanya melihat orang yang kucintai dan kusayangi bertarung dengan maut, sedangkan kita tak mampu berbuat apa - apa.
"Saatnya kita pergi," bisik Laras beberapa saat kemudian.
Setelah kunjungan itu, tiap hari aku menjenguknya sepulang dari rumah sakit aku bekerja. Dan aku berharap Chacha tak mencurigaiku dan berfikir akulah dokter yang menanganinya.
Aku tak bisa untuk tidak menemuinya, setelah tau ia bertarung dengan maut.
Dan aku beruntung tiap aku menjenguknya aku tak pernah bertemu dengan Chacha. Lebih sering aku menjumpai adik ibu DEF. Ia tidak banyak bertanya dan selalu tersenyum saat aku datang. Apakah ia tahu ada sesuatu antara DEF dan aku, aku tak peduli.
Aku tak pernah sesedih ini seumur hidupku. Seandainya saja dunia bisa berhenti berputar, biarlah DEF dan aku tetap disini, dalam waktu yang menjadi abadi.
***
"Aku tahu kamu beberapa kali mengunjungiku waktu aku ada di ICU." Suara DEF terdengar di telingaku. "Tante Rima yang memberitahu.Seandainya saja aku sadar waktu itu, tentu aku tak mengijinkanmu pergi lagi."
Aku tertawa lirih. DEF memang tak menyadari kehadiranku.
"Lain kali, jangan menakutiku seperti itu, "kataku. "Kupikir aku akan kehilanganmu selama - lamanya."
"Saat itu memang aku ingin mati. Sengaja aku minum obat lebih banyak. Tindakanku memang tolol. Seharusnya aku lebih kuat Beib. Sepertimu. Kurasa hidupku sudah berakhir waktu kamu memutuskan untuk menikah dengan Danang."
Aku menarik nafas panjang. "Keputusan itu masih berlaku, DEF."
Untuk sesaat tak ada yang bicara. Kurasakan jari - jari DEF membelai rambutku.
"Aku tahu," ujarnya kemudian. "Tetapi aku harus tetap menemuimu."
"Hubungan ini ......" suaraku tercekik, "......tidak bisa berlanjut."
"Aku tahu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwaq aku tetap selalu menyayangimu."
Kubenamkan wajahku di dadanya. Aku tak ingin berkata - kata. Aku hanya ingin menikmati saat - saat bersamanya. Karena setelah ini, aku takkan bisa bersamanya lagi. Kami akan menempuh jalan hidup masing - masing.
"Beib........."DEF membelai - belai pipiku. "Aku harus pergi sekarang."
Kurasakan pipiku basah. DEF memegang kedua pipiku. Matanya yang hitam seperti malam berkaca - kaca. "My Lovley Baby," ucapnya lirih.
Aku tersedu - sedu.
Ia menciumku. Lama. Lembut.
"Berhentilah menangis," bisiknya di telingaku. Disekanya air mataku dengan punggung tangannya. lalu dibimbingnya aku berdiri. "Aku belajar banyak darimu, terutama belajar menjadi kuat. Dan hei, aku akan datang di pernikahanmu nanti. Pastilah kamu pengantin yang tercantik yang pernah aku lihat."
Kupandang matanya yang hitam dan berlinang air mata.
Ditundukkan kepalanya, bibirnya terasa lembut di dahiku.
Kami berpandangan.
Dibukanya pintu.
Ditutupnya di belakangnya.
.